Taufiq Ismail: Sistem Pendidikan Sastra Kita Keliru

Selasa, 22 November 2011

Di tengah hiruk-pikuk perkembangannya, ternyata sastra Indonesia sesungguhnya masih terasa asing dan sendiri. Kesunyian inilah yang membuat Taufiq Ismail merasa harus turun ke daerah-daerah, sekolah-sekolah, universitas, untuk memperkenalkan kembali karya sastra Indonesia di mata pelajar, bertahun-tahun tanpa lelah. Akhirnya, perjuangan sastrawan ini mendapat perhatian dari Universitas Negeri Yogyakarta. Dia dianggap berjasa besar dalam konstelasi pendidikan sastra. Pada 8 Februari 2003 Taufiq pun dianugerahkan Doktor Honoris Causa. Berikut petikan wawancara Bali Post dengan Taufiq Ismail.
APA arti anugerah Doktor Honoris Causa bagi Anda?

Kehormatan besar. Saya terharu dan gembira. Terharu karena apa yang saya dan kawan-kawan sastrawan selama sekitar enam tahun belakangan ini kerjakan, diperhatikan. Gembira karena bukan hanya diperhatikan, tetapi dihargai oleh dunia akademik. Dalam kurun masa enam tahun ini — 1996-2002, kami meluncurkan enam gerakan sastra, dengan sasaran dunia pendidikan, bertujuan meningkatkan budaya baca buku, kemampuan menulis dan menumbuhkan apresiasi atau kecintaan dan penghargaan pada sastra di kalangan anak didik kita di SMU.


Bisa dicontohkan apa upaya real penerapan enam gerakan sastra tersebut?

Enam gerakan sastra tersebut adalah pertama, menerbitkan sisipan “Kakilangit” di majalah Horison, sebuah ruang sastra diperuntukkan bagi siswa SMU yang dapat langsung dipakai di kelas sejak 1996. Kedua, kami melatih guru-guru bahasa dan sastra dalam “Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra” (MMAS) sejak 1999 di 11 kota, sebanyak sekitar 30 kali, diikuti kira-kira 1.500 guru. Untuk guru-guru di Bali, Lombok dan sekitarnya kami laksanakan di Mataram tahun yang lalu. Ketiga, kami membawa sastrawan ke SMU, agar siswa bertemu langsung dengan sastrawan, mendengarkan karyanya dibacakan sendiri dan berdialog. Nama kegiatan ini “Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya” (SBSB). Di Bali, kami pergi ke 14 sekolah di sembilan kota, didukung oleh 11 sastrawan Bali dan enam sastrawan dari luar Bali.


Keempat, “Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca” (SBMM), yaitu sastrawan berdialog dengan mahasiswa sastra dan mahasiswa calon-calon guru bahasa/sastra di sembilan universitas. Kelima, lomba mengulas karya sastra dan menulis cerita pendek untuk guru SMU, LMKS dan LMCP. Keenam, “Sanggar Sastra untuk Siswa” di 12 kota. Ini untuk menampung kegiatan sastra siswa di luar jam pelajaran sekolah.
Tapi Anda kan tidak bekerja sendiri atau boleh dikata itu ide kolektif?

Benar. Berbeda dengan gelar S-3 yang diperoleh melalui kerja keras membaca buku sumber, memilih masalah, melakukan wawancara, sampling, penelitian, menuliskannya dan mempertahankannya, yang kesemuanya adalah kerja satu orang dan hasilnya dinikmati satu orang itu juga. Maka dalam hal saya, itu berbeda. Saya tidak bekerja sendiri. Bahkan idenya juga ide bersama, yang dibicarakan secara kolektif. Keenam gerakan ini melibatkan begitu banyak orang, antara 100-150 orang. Jadi mestinya gelar Doktor HC yang satu ini dipakai beramai-ramai.


Bagaimana Anda memandang kondisi sastra Indonesia di Indonesia sendiri?

Kalau bagus, sehat, penuh energi dan perkasa, saya dan kawan-kawan tidak perlu melakukan enam gerakan sastra ini. Kalau publik membaca buku sastra seperti makan kacang goreng, kalau majalah sastra 50 buah terbit berserakan di seluruh propinsi, kalau jumlah sastrawan 5.000 orang tersebar se-Nusantara sehingga kritikus repot mengenali mereka, kalau proporsi jumlah judul buku terbit setiap tahunnya mendekati proporsi jumlah judul buku di negara-negara ketiga di dunia, maka enam gerakan sastra ini tidak relevan lagi.


Apa kelemahan karya sastra Indonesia sehingga bisa tidak diminati bangsa Indonesia sendiri? Apa kesalahan terletak di pengarang atau ada sistem tersendiri yang merusak minat dan gairah anak bangsa ini untuk membaca sastra?

Kesalahan tidak terletak pada pengarang. Yang keliru adalah sistem pendidikan sastra kita. Saya menduga kuat sebab utamanya adalah karena kewajiban membaca karya sastra, bimbingan mengarang dan apresiasi sastra di sekolah luar biasa terlantar di sekolah-sekolah kita. Melalui pengamatan saya pada 13 tamatan SMU 13 negara (1997), diperoleh perbandingan bahwa bila di negara-negara lain dalam 3-4 tahun para siswa SMU negara-negara itu wajib membaca antara 6-32 judul buku sastra, maka dalam jangka waktu belajar yang sama, siswa SMU kita membaca nol judul buku. Dan ini sudah berlangsung 60 tahun lamanya. Ini luar biasa menyedihkan. Tamatan SMU selama 60 tahun itu, merupakan lapisan masyarakat terpelajar kita sekarang. Bila dulu mereka di SMU tidak jatuh cinta pada bacaan sastra, ketika mereka jadi anggota masyarakat, kecil kemungkinan akan cinta pada sastra. Apalagi karena di negeri kita ini jurusan IPA, jurusan ilmu eksakta, sangat diunggul-unggulkan, berlebihan disanjung-sanjung, sehingga sastra tersisih ke pinggir jalan raya.


Solusi apa yang harus kita ambil untuk menggairahkan minat baca anak negeri ini pada sastra?

Pertama, perbaiki pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah kita, sejak dari SD sampai SMU. Inilah yang ingin dicapai enam gerakan sastra ini. Kedua, untuk keluarga-keluarga yang kepala keluarganya (suami-istri) cinta sastra, agar mendidikkan bacaan sastra kepada anak-anak di rumah. Tidak harus buku sastra, pada awalnya, tapi asal bacaan yang baik untuk mereka. Literasi buku kita tanamkan di lingkungan yang paling dekat dari kita, yaitu keluarga kita. Ketiga, kita lakukan berbagai kegiatan masyarakat yang menggairahkan budaya baca dan kemampuan menulis. Pelajaran menulis sangat telantar di sekolah kita. Anjurkan anak-anak, termasuk diri kita, agar secara teratur menulis dan berkirim surat. Ke mana saja, asal menulis surat. Ini latihan mengarang yang bagus sekali, tak makan waktu. Penjualan perangko di kantor pos kita, ini cerita sedih dan memalukan lagi, terendah di dunia. Menulis surat pun, kecuali selamat hari raya dan tahun baru, kita malas.


Secara pribadi apa sesungguhnya makna membaca sastra bagi kehidupan seorang individu?

Menumbuhkan kearifan pada manusia dan kehidupan, mengasah sensitivitas estetiknya atau kepekaan terhadap keindahan, memupuk empati pada duka derita orang-orang yang malang, menyerap nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti antara lain keimanan, kejujuran, ketertiban, tanggung jawab, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib, penghargaan pada nyawa manusia.


Ketika mengadakan SBSB, harapan apa yang Anda ingin tanamkan?

Ketika 60 orang sastrawan yang pergi ke 82 kota, masuk ke 123 SMU di 17 propinsi dan berdialog dengan 58.000 siswa dan guru tiga tahun berturut-turut sejak 2000, kesan kami bersama adalah bahwa mereka antusias mendengarkan karya sastra dibacakan, bersemangat dalam dialog, tak canggung mengemukakan pendapat bahkan berani menyampaikan kecaman. Jadi bibit cinta mereka pada sastra, ada. Tinggal lagi, atau selanjutnya, bibit ini mesti disemai dengan baik oleh guru. Guru atau sekolah itu harus dibantu dengan penyediaan buku sastra di perpustakaan sekolah. Dan ini sudah mulai disediakan oleh Dikdasmen, atau Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Kami juga membantu dengan menyusun antologi karya sastra “Dari Fansuri ke Handayani” dan 4 jilid bunga rampai “Horison Sastra Indonesia”, total 25.000 eksemplar, yang telah dibagikan ke perpustakaan 4.500 SMU di Indonesia.


Apakah efektif program yang sedang Anda jalankan sekarang bagi perkembangan minat baca siswa pada sastra?

Karena program kami tidak hanya satu, dengan sasaran tiga, maka menurut hemat saya sebagai perangsang pertama, efektif. Penggarapan ditujukan kepada siswa, mahasiswa dan guru. Bentuknya stimulasi, pelatihan, pembinaan sampai penyediaan buku. Dilihat dari segi pendanaan, maka “Kakilangit” kami danai sendiri. Pelatihan guru MMAS dan lomba mengarang LMKS-LMCP didanai Depdiknas, sedangkan SBSB, SBMM dan SSSI disponsori Ford Foundation. Ketiga kegiatan yang didanai Ford Foundation sejak 2000 ini, akan selesai 2004. Mengingat efektifnya ketiga butir kegiatan ini, sayang kalau nanti tidak diteruskan sesudah 2004. Alhamdulillah Depdiknas setuju untuk melanjutkan kelak. Kami gembira sekali atas respons positif Depdiknas ini.


Harapan jangka panjang Anda?

Dalam jangka panjang, saya bermimpi kita bisa mengejar ketertinggalan kuantitatif siswa kita dalam hal membaca dan menulis. Siswa SMU Amerika Serikat, ketika mereka tamat, mereka telah membaca 4.824 halaman karya sastra. Siswa Malaysia (Kolej Melayu Kuala Kangsar, sebuah SMU unggulan), ketika tamat, telah menulis sebanyak 2.016 halaman ketik kuarto. Bukan main. Luar biasa. Saya bermimpi semoga dalam waktu 20 tahun kita bisa mengejar separo dari angka-angka di atas. Mudah-mudahan bisa lebih dari separo.


Bagaimana Anda memandang perkembangan kondisi karya sastra Indonesia saat ini?

Di atas lahan 60 tahun merosotnya budaya baca buku dan bimbingan menulis kita, dengan kegersangan top soil bumi penulisan Indonesia ini, maka perkembangan kondisi karya sastra Indonesia hari ini, bagi saya menakjubkan. Bahwa masih ada yang gigih menulis sastra dalam keadaan seperti ini, dan tetap saja ada yang berusia muda menulis tidak peduli — barangkali malah tidak tahu — dengan ketidaksuburan lahan sekitar ini, saya bersyukur sekali.


Kenapa karya sastra Indonesia tidak bisa berkembang seperti karya-karya sastra pengarang Jepang? Di mana sesungguhnya letak kelemahannya?

Sekali lagi saya merujuk kepada pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah. Responden Jepang saya, bersekolah di SMU Urawa, 1969-1972, wajib membaca 15 judul buku sastra, belum dihitung karya sastra asing terjemahan. Latihan menulisnya mirip dengan latihan menulis siswa Eropa dan Amerika. Bentuk puisi haiku — puisi alit Jepang yang sangat indah itu, dilatihkan kepada seluruh siswa SMU Jepang, sehingga estetikanya tertanam dalam di lubuk hati dan otak mereka. Di sisi itu, walau orang Jepang penguasaan bahasa asingnya terutama dari segi lafal lemah, tapi terjemahan karya sastra asing kontemporernya sangat up to date, sehingga mereka kenal karya-karya besar sastra dunia hari ini. Karya besar terbit 1-2 bulan yang lalu di Amerika dan Eropa, bulan depan sudah beredar terjemahan Jepangnya. Jadi interaksi mereka cepat dan menyeluruh. Semua faktor tersebut, ditambah lagi dengan daya beli publik yang tinggi, menyebabkan sastrawan Jepang berkembang dengan pesatnya.


Apa sesungguhnya yang harus dimiliki oleh pengarang agar bisa menulis karya yang benar-benar bagus?

Membaca, membaca dan membaca, lalu menulis, menulis dan menulis.


Ada indikasi, popularitas seorang pengarang sangat menentukan laku karya-karyanya. Sejauh mana peran media massa koran, televisi, radio, terhadap perkembangan sastra Indonesia, terutama dari segi gencarnya publikasi?

Peran media massa besar sekali. Public relations sudah menjadi sains terapan yang ampuh benar dalam menyampaikan pesan-pesan. Contoh bertebaran di sekitar kita. Pesan-pesan itu bisa berbentuk pesan dagang, politik, ide, sastra, bahkan hasutan. Kerja sama dengan media massa, untuk meneruskan pesan, penting sekali.


Apa kontribusi sastra daerah terhadap perkembangan sastra modern Indonesia?

Kontribusi sastra daerah penting. Sastra daerah memperkaya sastra Indonesia. Bahasa daerah memperkaya kosa kata bahasa Indonesia, dengan nuansa rasa dan ungkapan yang belum tentu dimiliki bahasa Indonesia. Sastra Indonesia menghirup mata air sastra daerah, secara tak disadarinya. Itulah sebabnya dalam buku “Dari Fansuri ke Handayani” dan “Horison Sastra Indonesia”, kami mencantumkan contoh beberapa karya sastra daerah, dalam hal ini puisi, agar siswa dan guru tak lupa, agar mereka mengapresiasi akar sastra kita. Beruntunglah siswa-siswa yang menguasai bahasa daerah dan sastra daerahnya. Di ibu kota, kebanyakan siswa cuma menguasai bahasa Indonesia, tapi tidak menguasai bahasa daerahnya dengan baik. Mereka rugi.

Sumber: sastra-indonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 [[ Bengkel Sastra Lintang ]] All Rights Reserved.
Powered by Blogger.com.