Puisi "Tuan Malaikat, Ini Putri.."

Minggu, 20 November 2011

Tuan Malaikat, ini Putri.....

Hari ini malaikat pencabut nyawa benar-benar sibuk
Seluruh catatan dan daftar telah ia hafal dengan sempurna
Sabitnya menebas-nebas dan ia tampak sempoyongan

Dalam tiga puluh menit semua tugas harus tuntas, ini perintah!
Ia mendengar amat takzim perintah itu
Maka ia tak berbelas
Maka ia menuntaskan
Maka ia menyabit segala

Dan sebuah kota telah menjadi sayu
Lempengan bumi dasar laut menggeliat
Ombak yang terlalu lama tak memuliki bahasa itupun bersatu dengan lumpur, memuncrat, mencoba dengan caranya untuk mengeluarkan segenap isi hatinya
Ia sedang berbicara
Ia sedang meraung

Ujung pulau negeri itu telah tersapu oleh gerlombang lautnya sendiri.
Kemegahan kota itupun menjadi masa lalu yang jauh
Hari ini pula seorang gadis kecil bermata merah dadu dengan tangan kanannya yang nyaris buntung, ia berusaha merangkak mendekati seorang janda setengah baya yang tubuhnya telah rusak.
Keduanya akibat tertindih terumbu karang yang dimuntahkan samudera
"Umi! Umi…, ini Putri! Mengapa kau tak bergerak?"

Belum genap ia menyapu air mata, ia menangkap bayangan berkelebat yang menyabit cepat di atas ubun-ubun perempuan itu
"Tuan…tuan, kau siapa?"

Dengan suara tetapi bukan suara, bayangan itupun menjawab,
"Aku malaikat, kau melihat rahasiaku?"
"Ya, Tuan! Tuan Malalaikat, ini Putri! Mengapa Umi tak bergerak?"


Malaikat tak menyahut, rupanya ia benar-benar sedang sibuk menyabit
Ribuan manusia menjerit
Mayat-mayat bergelimpangan
Ombak kian berteriak meninggi sepuluh meter
Segenap paru-paru tersedak lumpur
Segenap bangunan roboh
Segenapnya hanyut dan rata
Kota ini tak lagi tahu siapa si kaya dan siapakah yang tak kaya
Segenapnya menjadi serupa
Dan segenapnya berwajah sama

" Tuan, Tuan Malaikat…, tunggu…!"

Tetapi malaikat tetap sibuk, ia memang sedang memperhitungkan waktu
Ia tak ingin mendengar
Ia tak ingin lelap
Ia tak ingin lupa
Hingga ternak, hingga serangga, hingga rumput, dan pohon sekalipun, semuanya sesuai daftar, semuanya tak terlewatkan, dan semuanya dengan dingin ia tuntaskan
"Tuan Malaikat, tunggu! Mengapa Umiku tak bergerak?"
"Aku sedang melangsungkan tugas, manusia kecil"
"Berhentilah sejenak, Tuan! Lihatlah Umiku"
Ia menatap, kemudian suaranya yang bukan suara, terdengar berupa butiran-butiran lembut yang jatuh tetapi begitu bening
"Umimu pun bertugas, Putri…! Gempa itu tugas. Ombak itu tugas.
Gunung itu tugas dan lumpurpun bertugas"
"Kota ini?"

Malaikat pencabut nyawa itu, tiba-tiba tak bergeming
Layaknya sedang menimbang ia lama terdiam
Kedua matanya yang perak, tajam menatap lengan Putri yang terus mengucurkan darah

"Tuan, kota ini apa bertugas?"
"Manusia kecil, banyak tugas yang menjadi rahasia, sebuah rahasia yang kita tak boleh mengetahuinya, namun kita harus melaksanakannya. Sebentar lagi segera datang virus dan bakteri yang bertugas, lalat-lalat yang bertugas, dan belatung pun bertugas"
"Kumohon jawablah tentang kota ini, Tuan Malaikat?"
"Baiklah, manusia kecil, kota inipun bertugas"
"Kota ini Aceh, tuan. Mengapa selalu Aceh yang bertugas?"
"Dengar manusia kecil, tak banyak manusia berani bertugas untuk memilih Allah atau hidup di dunia. Tak banyak pula manusia memiliki tugas mencintai hasratnya sendiri untuk ke rumah Allah di atas cintanya kepada dunia. Dan kotamu ini memang sepetak taman bagimu, tetapi Aceh telah dibantu memilih bertugas"
"Tugas lagi?"
"Ya, tugas untuk membentuk barisan!"
"Barisan? Barisan apa, Tuan?"

Tetapi Malaikat segera membaca daftar dan dengan amat gesit ia menyabit kembali. Yang terjadi ialah jalan-jalan trotoar itu, masjid-masjid itu, lapangan itu, kota itu telah penuh anak-anak, penuh orang tua, penuh lelaki, penuh perempuan, semua penuh mayat

"Cukup! Cukup Tuan! Kumohon hentikan, hentikan, tuan!"
"Hey, waktuku hampir habis, sedangkan barusan belum terbentuk"
"Katakan padaku, barisan apa?"
"Barisan menuju rumah Allah, manusia kecil"
"Rumah Allah?"
"Yaa…"
"Apakah Umiku juga dalam barisan itu?"
"Tentu, manusia kecil"

Putri menelan ludah, ia tak lagi meringis kesakitan, ia justru menatap kembali seorang perempuan setengah baya yang terbujur kaku dan diam itu. Tetapi kedua matanya telah berubah serupa purnama yang merajai bulan.
"Umi, Umi ini Putri! Kata Tuan Malaikat, Umi akan berada dalam barisan itu! Kau terpilih Umi. Kau terpilih!"

Kemudian gadis kecil itu berteriak lantang.
"Tuan Malaikat! Tuan Malaikat, ini Putri! Aku keturunan
Cut Nyak! Akulah Aceh itu! Lihatlah dalam daftarmu, sabit aku...sabit aku…"

Hari ini, tepat tiga puluh menit untuk pertama kalinya malaikat itu tersenyum melihat sebuah nama pada daftar terakhir.
Ia menatap langit-langit, seorang anak kecil sedang berderap-derap memimpin barisan yang amat panjang.

Lintang Sugianto

1 komentar:

Imam mengatakan...

Luar biasa (y)
Jadi ingin ikut workshopnya lagi :-D

Sukses terus BSL :D

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 [[ Bengkel Sastra Lintang ]] All Rights Reserved.
Powered by Blogger.com.