[-]

Selasa, 13 Desember 2011 | 0 komentar

Seperti meraih bintang, tapi kepala orang diinjak.
Rasanya seperti ditawarkan minum, tapi disiramkan.
Rasanya seperti akan dicium, tp diludahi.

Dunia ini seperti sempit seluas kakus.
Adanya itu, itu yang dimakan.

Habis kosa kata bukan karna tidak ada.
Tapi karna tak tahu lagi harus bilang apa.
iya dan tidaknya sudah tak ada beda.
Janji sumpah pun jadi senda gurau belaka.

Pahit getir ditelan mentah-mentah, bulat-bulat.
Meninggalkan luka bagi lainnya.

Sayang, perduli, cinta, tinggal prosa.
Fiksi-fiksi indah untuk telinga.
Tak pernah sampai ke hati, tak sekalipun menyentuh jiwa.

ooh..begitu indah diciptakan telinga
ooh..begitu cantik binar mata

Pernah ada, bicara tak ada bekas sahabat
Semoga saja bukan itu akhir yang didapat
Pernah ada, bicara bekas cinta
Ujungnya kesana jua bermuara

Untuk beberapa manusia biasa seperti saya
Sayatannya sungguh-sungguh tak terperi
Tapi bagaimanapun juga
Bagaimana mungkin kau akan mengerti

Rembiga, 24/11/2011
 Firly Rifkhianto

PENTAS BACA PUISI

Selasa, 22 November 2011 | 0 komentar





Pementasan baca puisi Bambang Sugianto (Bengkel Sastra Lintang) 
Kerja sama Sanggar Seni dan Budaya LILIN dengan KNPI Kab Bima


Hari      : Minggu
Tanggal: 4 Desember 2011
PUkul    : 20.00 WITA S/D Selesai
Tempat: Audoturium STKIP Taman Siswa Bima NTB


BSL

MUSIKALISASI PUISI SEBUAH PILIHAN APRESIASI KESENIAN

| 1 komentar

Menyentuh ke-semangat-an nampaknya tidak terlepas dari gairah kreatifitas. Saat kita bersemangat adalah saat kita mempunyai keinginan. Karena hitungan detik selalu berubah dan waktu tak pernah sama, selalu baru, maka keinginan pun mengikuti waktu, selalu baru. Meskipun keinginan itu pernah terjadi, karena waktu maka keinginan itu pun baru.  Keinginan selalu dibarengi pula dengan gagasan baru, ide-ide baru.
Sekilas asal usul musik
Manusia belajar dari alam
Manusia menciptakan alat bunyi
Lahirnya tembang-tembang tradisional, etnis
Lahirnya alat-alat musik
Lahirnya beragam irama & genre

MUSIKALISASI PUISI. Ada dua kata, Musik (alisasi) dan Puisi.
Musik tak lepas dari Bunyi dan Irama yang selalu ada di mana pun, kita dapat merasakan jika kita mau menyadari, karena ada juga orang yang tidak menyadari hal irama itu. Pada alam semesta, kita melihat langit luas ber-awan yang menyembul di antara pegunungan. Pada bagian lain nampak segerombolan burung terbang bersama dengan sayapnya yang indah. Di bagian bawah kita saksikan air mengalir gemerecik, sampai ke lautan bertemu dengan sesekali deburan ombak besar bercanda menghantam pantai mengembalikan sampah yang terbawa air sungai. Dan seterusnya kita dapat mencoba membaca irama alam. Kelak kita akan belajar banyak dari Irama Alam ini.
Musikalisasi puisi di dalam bidang kesenian, dapat dikatakan satu bentuk kesenian  tersendiri.  Adalah suatu kegiatan penciptaan musik berdasar sebuah puisi, sehingga pesan yang ada dipuisi tersebut makin jelas maknanya. Beberapa istilah Musikalisasi Puisi, ada yang menyebutkan Poetry Singing, Tembang Puitik, Musik Puisi, Musiklisasi Syair, dll, adalah  Puisi yang disampaikan dengan cara musikalisasi, alat bantu utamanya ada pada musik.
Sejak awal pertumbuhannya, sastra dan musik memang saling terkait. Dalam kegiatan ini, segala aspek yang kini disebut seni, seperti sastra (mantera), musik, nyanyian, dan tarian, merupakan satu kesatuan yag saling mengisi. Dalam sejarah, baik di kebudayaan kita, maupun yang tercatat misalnya di Prancis di mana ada kesenian yang bernama  Troubadur, adalah sebuah bentuk kesenian yang memadukan antara musik, tari dan syair atau puisi itu.
1.      Kita bisa memadukan puisi dan musik
2.      Kita bisa memadukan musik sebagai pengiring kata-kata dan bukan menguasainya yang maksudnya musiknya lebih keras dan kuat dari puisi sehingga puisi kehilangan makna .
3.      Kita juga bisa mengungkapkan makna kata melalui musik. Pengungkapan makna dalam musik ini, bukan hanya pada musik vokal, tapi juga pada musik instrument.
Mengapa Puisi Dinyanyikan?
    Memberikan keseimbangan karya-karya musik atau lagu yang sedang bergulir pada saat ini yang cenderung polos, terlalu sederhana bahkan vulgar.
    Meningkatkan wawasan estetika dan penghargaan terhadap karya seni sastra secara kreatip melalui kontemplasi atau perenungan.

Dimulai dari adanya dua keinginan. Keinginan Penyair yang ingin memberikan puisinya kepada musik, ada Pemusik yang ingin memberikan musiknya pada puisi.
Faktor kesulitan menulis lagu untuk Musikalisasi Puisi, ialah saat kita mencoba mengharmonisasikan isi Puisi dengan Motif  yang ada pada Musik. Pada Puisi ada huruf, kata, baris, bait, koma, titik dll,  dan pada Musik  motif yang terdiri dari kira-kira dua bar atau birama, ada nada, frase, priode, yang keseluruhannya disebut lagu.
(Begitu pula pada prosa, saat kita akan membuat opera, yakni drama atau teater musik , di sana ada bab, alinea, kalimat, anak kalimat, koma, titik dll.)
Pemusik dan penyair harus saling paham tentang karyanya. Lalu mencoba mencari persepsi yang menuju kesamaan makna. Pada nada dan pada kata, misalnya, dicari keharmoniannya. Sehingga tidak terjadi ‘salah maksud’. Pemusik dan penyair harus memperhatikan gerak melodi, dan gerak syair. Pemusik harus lebih berhati hati dengan estetis nalurinya, agar musiknya tidak merusak suasana syair. Jadi tidaklah sederhana menciptakan sebuah lagu yang diambil dari sebuah puisi, perlu pendalaman sehingga tidak terjadi kasus salah tafsir. Bisa saja seorang Penyair adalah sekaligus Pemusiknya, atau sebaliknya, sehingga pesan puisinya lebih ekspresif.
Metode Musikalisasi Puisi
    Perenungan
    Penciptaan nada
    Pelantunan dan Ekspresi

Musikalisasi ideal adalah penggubahan puisi menjadi syair lagu tanpa mengikutsetakan pembacaan puisi. Yang dipentaskan adalah benar-benar sebuah lagu, dan puisi hanya berperan sebagai syair lagu. Perbedaan lagu hasil musikalisasi dan lagu yang diciptakan bukan dari puisi tidak terlalu kelihatan. Hanya perbedaan isi syair dan kedalaman maknalah yang membedakan syair puisi dan syair nonpuisi. Model musikalisasi puisi semacam ini sebenarnya telah tumbuh lama. Syair-syair lagu yang dibawakan oleh BIMBO sebagian merupakan puisi-puisi ciptaan Taufiq Ismail. Misalnya saja lagu Panggung Sandiwara dan Sajadah Panjang. Model musikalisasi ini semakin terangkat pamornya ketika muncul musikalisasi puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono.

Musikalisasi puisi merupakan kerja kolaborasi antara aliran seni musik dan aliran seni sastra. Untuk itu, agar muncul kolaborasi yang bernilai seni, musikalisasi puisi perlu memberikan tempat yang seimbang (harmonis) antara keahlian seni suara dan keahlian seni sastra. Maka, musikalisasi puisi sebaiknya memunculkan kedua unsur tersebut secara harmonis. Artinya, dalam musikalisasi puisi harus tercermin keindahan nyanyian dan keindahan pembacaan puisi. Kolaborasi lagu dan pembacaan puisi dapat diciptakan jika suasana puisi dapat diterjemahkan dengan baik oleh pembaca puisi dan pencipta lagu. Jika dapat diterjemahkan dengan baik maka akan terpancar kualitas puisi sekaligus kualitas musikalnya.

Nani Tandjung

Puisi - puisi pendek (karya Lintang Sugianto)

| 1 komentar

Api Kecil



Biarlah aku menjadi api
Pada damar yang menempel di dindingMu
Meski tak layak cahayaku
menyamai matahari-Mu
Sebab api diatas sumbu hanyalah jiwaku
Api yang tak benderang
Api yang kecil
Api yang selalu dipermainkan angin
Aku ialah api
yang menyala selama-lamanya untuk-Mu
Meski minyak telah kering pada sumbu




MDG Hal III
(Lintang Sugianto)


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Aku Lebih Suka




Dirumah ini aku lebih suka
Ada kucing benar benar kucing
Burung benar-benar burung
Ayam benar-benar ayam
Ikan benar-benar ikan
Kura-kura benar-benar kura-kura
Bahkan
Orang pun benar-benar orang
 Laki-laki benar-benar laki-laki
Perempuan benar-benar perempuan
Juga
kata-kata benar-benar kata-kata
Rumah ini benar-benar rumah
Meski
selepas bayang
ada kecoak yang benar-benar kecoak
Dirumah ini aku lebih suka



Kusampaikan
(Lintang Sugianto)


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Gusti



Gusti Sang Pengasih …..
Letakkan Suhada di balik jubahMu ….
Sembunyikanlah dia dari awan-awan gelap ....
Oh Gusti Sang Pangeran ....
Kemana lagi ....
Jika tak KepadaMu ...
Kasihanilah dia, Gusti ...
Kebun jiwanya terlalu kering ....
Hujani hatinya dengan melati-melati CintaMu ...
Sembunyikan di balik JubahMu ...
Sembunyikan Suhada di balik JubahMu....




MDG Hal 364
(Lintang Sugianto)


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Aku Adalah Ibumu




Aku adalah ibumu
Akulah kehangatanmu
Akulah makananmu
Aku ialah rumah
Aku adalah samudera
Juga pelabuhan untukmu
Adalah kapal, layar juga angin bagimu
Dan aku adalah taman itu.
Mekarlah anakku, dan mewangilah





MDG Hal 219
(Lintang Sugianto)


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




PORTAL


Kemarin
Kuhadang malaikat
Mengapa sisi-sisiku kalian jaga

Kami mencatat kebenaran

Sekarang
Kucegatk setan
Apa yang kalian inginkan

Merobek catatan

Kemudian
Kulihat hatiku
Apa yang engkau lakukan

Memberi tinta bagi catatan
Namun, tulisannya tak sampai-sampai di lembaran

Lintang Sugianto


BSL

Taufiq Ismail: Sistem Pendidikan Sastra Kita Keliru

| 0 komentar

Di tengah hiruk-pikuk perkembangannya, ternyata sastra Indonesia sesungguhnya masih terasa asing dan sendiri. Kesunyian inilah yang membuat Taufiq Ismail merasa harus turun ke daerah-daerah, sekolah-sekolah, universitas, untuk memperkenalkan kembali karya sastra Indonesia di mata pelajar, bertahun-tahun tanpa lelah. Akhirnya, perjuangan sastrawan ini mendapat perhatian dari Universitas Negeri Yogyakarta. Dia dianggap berjasa besar dalam konstelasi pendidikan sastra. Pada 8 Februari 2003 Taufiq pun dianugerahkan Doktor Honoris Causa. Berikut petikan wawancara Bali Post dengan Taufiq Ismail.
APA arti anugerah Doktor Honoris Causa bagi Anda?

Kehormatan besar. Saya terharu dan gembira. Terharu karena apa yang saya dan kawan-kawan sastrawan selama sekitar enam tahun belakangan ini kerjakan, diperhatikan. Gembira karena bukan hanya diperhatikan, tetapi dihargai oleh dunia akademik. Dalam kurun masa enam tahun ini — 1996-2002, kami meluncurkan enam gerakan sastra, dengan sasaran dunia pendidikan, bertujuan meningkatkan budaya baca buku, kemampuan menulis dan menumbuhkan apresiasi atau kecintaan dan penghargaan pada sastra di kalangan anak didik kita di SMU.


Bisa dicontohkan apa upaya real penerapan enam gerakan sastra tersebut?

Enam gerakan sastra tersebut adalah pertama, menerbitkan sisipan “Kakilangit” di majalah Horison, sebuah ruang sastra diperuntukkan bagi siswa SMU yang dapat langsung dipakai di kelas sejak 1996. Kedua, kami melatih guru-guru bahasa dan sastra dalam “Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra” (MMAS) sejak 1999 di 11 kota, sebanyak sekitar 30 kali, diikuti kira-kira 1.500 guru. Untuk guru-guru di Bali, Lombok dan sekitarnya kami laksanakan di Mataram tahun yang lalu. Ketiga, kami membawa sastrawan ke SMU, agar siswa bertemu langsung dengan sastrawan, mendengarkan karyanya dibacakan sendiri dan berdialog. Nama kegiatan ini “Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya” (SBSB). Di Bali, kami pergi ke 14 sekolah di sembilan kota, didukung oleh 11 sastrawan Bali dan enam sastrawan dari luar Bali.


Keempat, “Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca” (SBMM), yaitu sastrawan berdialog dengan mahasiswa sastra dan mahasiswa calon-calon guru bahasa/sastra di sembilan universitas. Kelima, lomba mengulas karya sastra dan menulis cerita pendek untuk guru SMU, LMKS dan LMCP. Keenam, “Sanggar Sastra untuk Siswa” di 12 kota. Ini untuk menampung kegiatan sastra siswa di luar jam pelajaran sekolah.
Tapi Anda kan tidak bekerja sendiri atau boleh dikata itu ide kolektif?

Benar. Berbeda dengan gelar S-3 yang diperoleh melalui kerja keras membaca buku sumber, memilih masalah, melakukan wawancara, sampling, penelitian, menuliskannya dan mempertahankannya, yang kesemuanya adalah kerja satu orang dan hasilnya dinikmati satu orang itu juga. Maka dalam hal saya, itu berbeda. Saya tidak bekerja sendiri. Bahkan idenya juga ide bersama, yang dibicarakan secara kolektif. Keenam gerakan ini melibatkan begitu banyak orang, antara 100-150 orang. Jadi mestinya gelar Doktor HC yang satu ini dipakai beramai-ramai.


Bagaimana Anda memandang kondisi sastra Indonesia di Indonesia sendiri?

Kalau bagus, sehat, penuh energi dan perkasa, saya dan kawan-kawan tidak perlu melakukan enam gerakan sastra ini. Kalau publik membaca buku sastra seperti makan kacang goreng, kalau majalah sastra 50 buah terbit berserakan di seluruh propinsi, kalau jumlah sastrawan 5.000 orang tersebar se-Nusantara sehingga kritikus repot mengenali mereka, kalau proporsi jumlah judul buku terbit setiap tahunnya mendekati proporsi jumlah judul buku di negara-negara ketiga di dunia, maka enam gerakan sastra ini tidak relevan lagi.


Apa kelemahan karya sastra Indonesia sehingga bisa tidak diminati bangsa Indonesia sendiri? Apa kesalahan terletak di pengarang atau ada sistem tersendiri yang merusak minat dan gairah anak bangsa ini untuk membaca sastra?

Kesalahan tidak terletak pada pengarang. Yang keliru adalah sistem pendidikan sastra kita. Saya menduga kuat sebab utamanya adalah karena kewajiban membaca karya sastra, bimbingan mengarang dan apresiasi sastra di sekolah luar biasa terlantar di sekolah-sekolah kita. Melalui pengamatan saya pada 13 tamatan SMU 13 negara (1997), diperoleh perbandingan bahwa bila di negara-negara lain dalam 3-4 tahun para siswa SMU negara-negara itu wajib membaca antara 6-32 judul buku sastra, maka dalam jangka waktu belajar yang sama, siswa SMU kita membaca nol judul buku. Dan ini sudah berlangsung 60 tahun lamanya. Ini luar biasa menyedihkan. Tamatan SMU selama 60 tahun itu, merupakan lapisan masyarakat terpelajar kita sekarang. Bila dulu mereka di SMU tidak jatuh cinta pada bacaan sastra, ketika mereka jadi anggota masyarakat, kecil kemungkinan akan cinta pada sastra. Apalagi karena di negeri kita ini jurusan IPA, jurusan ilmu eksakta, sangat diunggul-unggulkan, berlebihan disanjung-sanjung, sehingga sastra tersisih ke pinggir jalan raya.


Solusi apa yang harus kita ambil untuk menggairahkan minat baca anak negeri ini pada sastra?

Pertama, perbaiki pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah kita, sejak dari SD sampai SMU. Inilah yang ingin dicapai enam gerakan sastra ini. Kedua, untuk keluarga-keluarga yang kepala keluarganya (suami-istri) cinta sastra, agar mendidikkan bacaan sastra kepada anak-anak di rumah. Tidak harus buku sastra, pada awalnya, tapi asal bacaan yang baik untuk mereka. Literasi buku kita tanamkan di lingkungan yang paling dekat dari kita, yaitu keluarga kita. Ketiga, kita lakukan berbagai kegiatan masyarakat yang menggairahkan budaya baca dan kemampuan menulis. Pelajaran menulis sangat telantar di sekolah kita. Anjurkan anak-anak, termasuk diri kita, agar secara teratur menulis dan berkirim surat. Ke mana saja, asal menulis surat. Ini latihan mengarang yang bagus sekali, tak makan waktu. Penjualan perangko di kantor pos kita, ini cerita sedih dan memalukan lagi, terendah di dunia. Menulis surat pun, kecuali selamat hari raya dan tahun baru, kita malas.


Secara pribadi apa sesungguhnya makna membaca sastra bagi kehidupan seorang individu?

Menumbuhkan kearifan pada manusia dan kehidupan, mengasah sensitivitas estetiknya atau kepekaan terhadap keindahan, memupuk empati pada duka derita orang-orang yang malang, menyerap nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti antara lain keimanan, kejujuran, ketertiban, tanggung jawab, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib, penghargaan pada nyawa manusia.


Ketika mengadakan SBSB, harapan apa yang Anda ingin tanamkan?

Ketika 60 orang sastrawan yang pergi ke 82 kota, masuk ke 123 SMU di 17 propinsi dan berdialog dengan 58.000 siswa dan guru tiga tahun berturut-turut sejak 2000, kesan kami bersama adalah bahwa mereka antusias mendengarkan karya sastra dibacakan, bersemangat dalam dialog, tak canggung mengemukakan pendapat bahkan berani menyampaikan kecaman. Jadi bibit cinta mereka pada sastra, ada. Tinggal lagi, atau selanjutnya, bibit ini mesti disemai dengan baik oleh guru. Guru atau sekolah itu harus dibantu dengan penyediaan buku sastra di perpustakaan sekolah. Dan ini sudah mulai disediakan oleh Dikdasmen, atau Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Kami juga membantu dengan menyusun antologi karya sastra “Dari Fansuri ke Handayani” dan 4 jilid bunga rampai “Horison Sastra Indonesia”, total 25.000 eksemplar, yang telah dibagikan ke perpustakaan 4.500 SMU di Indonesia.


Apakah efektif program yang sedang Anda jalankan sekarang bagi perkembangan minat baca siswa pada sastra?

Karena program kami tidak hanya satu, dengan sasaran tiga, maka menurut hemat saya sebagai perangsang pertama, efektif. Penggarapan ditujukan kepada siswa, mahasiswa dan guru. Bentuknya stimulasi, pelatihan, pembinaan sampai penyediaan buku. Dilihat dari segi pendanaan, maka “Kakilangit” kami danai sendiri. Pelatihan guru MMAS dan lomba mengarang LMKS-LMCP didanai Depdiknas, sedangkan SBSB, SBMM dan SSSI disponsori Ford Foundation. Ketiga kegiatan yang didanai Ford Foundation sejak 2000 ini, akan selesai 2004. Mengingat efektifnya ketiga butir kegiatan ini, sayang kalau nanti tidak diteruskan sesudah 2004. Alhamdulillah Depdiknas setuju untuk melanjutkan kelak. Kami gembira sekali atas respons positif Depdiknas ini.


Harapan jangka panjang Anda?

Dalam jangka panjang, saya bermimpi kita bisa mengejar ketertinggalan kuantitatif siswa kita dalam hal membaca dan menulis. Siswa SMU Amerika Serikat, ketika mereka tamat, mereka telah membaca 4.824 halaman karya sastra. Siswa Malaysia (Kolej Melayu Kuala Kangsar, sebuah SMU unggulan), ketika tamat, telah menulis sebanyak 2.016 halaman ketik kuarto. Bukan main. Luar biasa. Saya bermimpi semoga dalam waktu 20 tahun kita bisa mengejar separo dari angka-angka di atas. Mudah-mudahan bisa lebih dari separo.


Bagaimana Anda memandang perkembangan kondisi karya sastra Indonesia saat ini?

Di atas lahan 60 tahun merosotnya budaya baca buku dan bimbingan menulis kita, dengan kegersangan top soil bumi penulisan Indonesia ini, maka perkembangan kondisi karya sastra Indonesia hari ini, bagi saya menakjubkan. Bahwa masih ada yang gigih menulis sastra dalam keadaan seperti ini, dan tetap saja ada yang berusia muda menulis tidak peduli — barangkali malah tidak tahu — dengan ketidaksuburan lahan sekitar ini, saya bersyukur sekali.


Kenapa karya sastra Indonesia tidak bisa berkembang seperti karya-karya sastra pengarang Jepang? Di mana sesungguhnya letak kelemahannya?

Sekali lagi saya merujuk kepada pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah. Responden Jepang saya, bersekolah di SMU Urawa, 1969-1972, wajib membaca 15 judul buku sastra, belum dihitung karya sastra asing terjemahan. Latihan menulisnya mirip dengan latihan menulis siswa Eropa dan Amerika. Bentuk puisi haiku — puisi alit Jepang yang sangat indah itu, dilatihkan kepada seluruh siswa SMU Jepang, sehingga estetikanya tertanam dalam di lubuk hati dan otak mereka. Di sisi itu, walau orang Jepang penguasaan bahasa asingnya terutama dari segi lafal lemah, tapi terjemahan karya sastra asing kontemporernya sangat up to date, sehingga mereka kenal karya-karya besar sastra dunia hari ini. Karya besar terbit 1-2 bulan yang lalu di Amerika dan Eropa, bulan depan sudah beredar terjemahan Jepangnya. Jadi interaksi mereka cepat dan menyeluruh. Semua faktor tersebut, ditambah lagi dengan daya beli publik yang tinggi, menyebabkan sastrawan Jepang berkembang dengan pesatnya.


Apa sesungguhnya yang harus dimiliki oleh pengarang agar bisa menulis karya yang benar-benar bagus?

Membaca, membaca dan membaca, lalu menulis, menulis dan menulis.


Ada indikasi, popularitas seorang pengarang sangat menentukan laku karya-karyanya. Sejauh mana peran media massa koran, televisi, radio, terhadap perkembangan sastra Indonesia, terutama dari segi gencarnya publikasi?

Peran media massa besar sekali. Public relations sudah menjadi sains terapan yang ampuh benar dalam menyampaikan pesan-pesan. Contoh bertebaran di sekitar kita. Pesan-pesan itu bisa berbentuk pesan dagang, politik, ide, sastra, bahkan hasutan. Kerja sama dengan media massa, untuk meneruskan pesan, penting sekali.


Apa kontribusi sastra daerah terhadap perkembangan sastra modern Indonesia?

Kontribusi sastra daerah penting. Sastra daerah memperkaya sastra Indonesia. Bahasa daerah memperkaya kosa kata bahasa Indonesia, dengan nuansa rasa dan ungkapan yang belum tentu dimiliki bahasa Indonesia. Sastra Indonesia menghirup mata air sastra daerah, secara tak disadarinya. Itulah sebabnya dalam buku “Dari Fansuri ke Handayani” dan “Horison Sastra Indonesia”, kami mencantumkan contoh beberapa karya sastra daerah, dalam hal ini puisi, agar siswa dan guru tak lupa, agar mereka mengapresiasi akar sastra kita. Beruntunglah siswa-siswa yang menguasai bahasa daerah dan sastra daerahnya. Di ibu kota, kebanyakan siswa cuma menguasai bahasa Indonesia, tapi tidak menguasai bahasa daerahnya dengan baik. Mereka rugi.

Sumber: sastra-indonesia.com

TUJUH MACAM KECERDASAN

Minggu, 20 November 2011 | 0 komentar

Setiap manusia memiliki tujuh kemampuan dasar atau kecerdasan yang dikenal dengan seven kinds of smart. (Thomas Armstrong).


1)  Kecerdasan Verbal/linguistis: kemampuan memanipulasi kata secara lisan atau tertulis.
2)  Kecerdasan Matematis/logis: kemampuan memanipulasi sistem nomor dan konsep logis.
3)     Kecerdasan Spasial: kemampuan melihat dan memanipulasi pola-pola desain.
4)   Kecerdasan Musikal: kemampuan mengerti dan memanipulasi konsep musik, seperti nada, irama, dan keselarasan.
5)     Kecerdasan Kinestetis-tubuh: kemampuan memanfaatkan tubuh dan gerakan, seperti dalam olah raga atau tari.
6) Kecerdasan Intrapersonal: kemampuan memahami perasaan diri sendiri, gemar merenung serta berfilsafat.
7)     Kecerdasan Interpersonal: kemampuan memahami, pikiran, serta perasaan orang lain.

Kita biasanya dominan dalam satu atau dua jenis kecerdasan. Meskipun demikian, dari ketujuh kecerdasan tersebut, kita memiliki kombinasi unik yang bisa kita jelajahi dan diserap sepanjang hayat. Namun umumnya, kita terlalu membatasi diri. Sebab, semasa anak-anak, kita didorong untuk hanya memusatkan diri pada satu kecerdasan—khususnya verbal/linguistis atau matematis/logis. Kedua kecerdasan inilah yang umumnya ditekankan dalam sistem pendidikan. Akibatnya, kita berkesimpulan bahwa kita tidak memiliki kemampuan atau potensi di bidang lain. Pada setiap orang memiliki 3 ketrampilan yang harus dikembangkan. Keterampilan pokok itu disebut 3 R: - Reading (membaca) - (W)Riting (menulis) - Rithmetic (berhitung).

Dari 3R itu, writing merupakan keterampilan yang terbesar jasanya bagi peradaban manusia. Bayangkan saja seandainya umat manusia tidak memiliki dan mengembangkan keterampilan menulis. Sehingga tiada tulisan-tulisan yang mewariskan seluruh kebudayaan rohaniah turun-temurun sepanjang abad. J. Hambleton Ober—Writing: Man’s Greatest Invention (Tulisan: Ciptaan Manusia yang Terbesar). Menyatakan bahwa kita harus belajar menulis pada usia yang sangat awal. Kita jarang merenungkan pentingnya tulisan bagi umat manusia, padahal tulisan memungkinkan adanya berbagai peradaban dan kebudayaan. Claude Levi Strauss—tulisan merupakan ciptaan ajaib yang pengembangan-nya membawa manusia pada suatu kesadaran yang lebih jelas terhadap masa lampau dan dengan demikian juga suatu kemampuan yang lebih besar untuk mengatur masa sekarang maupun masa depan.

BSL
 
© Copyright 2010-2011 [[ Bengkel Sastra Lintang ]] All Rights Reserved.
Powered by Blogger.com.